Terorisme Dan Stigma Terhadap Islam
Sejatinya, makna teroris tak terbatasi oleh suku bangsa, atau bahkan agama. Sebab, yang disebut teroris adalah mereka yang melaukan tindakan, baik perbuatan maupun perkataan selama itu merugikan orang lain atau mengancam, maka pelakunya disebut teroris dan kelakuanya disebut tindakan teror. Anda memeras orang di jalan, itu teror. Anda membunuh orang, itu perbuatan teror. Dan lain sebagainya. Sekali lagi, teroris adalah mereka yang melakukan perbuatan atau makar yang mengancam orang lain.
Namun lain halnya sekarang, makna teroris tidak disematkan
dengan sepantasnya. Hanya orang-orang tertentu yang sepertinya layak disebut
teroris. Bahkan yang lebih membuat kita gerah, hanya agama tertentu yang jika
pelakunya melakukan tindakan teror, disebut teroris. Seakan-akan mereka sangat ingin
membuat masyarakat phobia terhadap agama ini, agar tak ada yang mempelajarinya.
Yaitu Islam.
Salah satu contoh kesenjangan dengan penyebutan teroris
adalah, peristiwa bom alam sutera di Tangerang, oleh pemuda non-muslim, Leopard
Wisnu Kumala. Tak ada pemberitaan yang secara masif memberitakan kalau ini
perlakuan terror dan Leopard disebut teroris. Berita ini dengan sangat cepat
hilang. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Berbeda dengan kasus bom Sarinah misalnya. Begitu bom
meledak, para awak media segera merapat ke TKP, tak berselang lama salah satu
kantor berita nasional menayangkan seorang mantan ‘teroris’. Dengan gagahnya,
mantan ‘teroris’ ini mengatakan kalau ini perbuatan ISIS. Padahal, kepal BNPT,
Saud Usman yang saat itu berada di lokasi mengaku belum mengetahui siapa dalang
di balik bom ini. “Saya belum bisa berkomentar,” jelas Saud.
Beberapa waktu lalu, kepala BNPT mengatakan kalau Organisasi
Papua Merdeka (OPM) bukanlah teroris. Karena menurut dia, OPM ini bergerak di
bidang politik, yaitu ingin keluar dari NKRI. “Jadi perbuatan-perbuatan yang
terkait dengan politik tidak kita masukkan kepada tindak terorisme tapi kepada
perbuatan makar yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dan ini akan diuji oleh
jaksa atau hakim selaku yang akan memutuskan nantinya. Tapi sampai saat ini,
untuk kasus Papua tidak kita kaitkan dengan tindak pidana terorisme, kenapa?
Karena menyangkut pada kegiatan politik yang ingin memisahkan diri pada NKRI,” paparnya.
Padahal jika dilihat, OPM juga membunuh para TNI/POLRI yang
bertugas di Papua, bahkan sangat garang bila melakukan serangan. Anehnya,
mereka tidak disebut teroris dan alasanya sangat tidak masuk akal. Ketika kita
melihat kelompok Santoso yang disebut Mujahidin Indonesia Timur (MIT) mereka
sudah sangat akrab dengan sebutan teroris. Sama-sama melakukan penyerangan
terhadap TNI/POLRI, tapi beda dalam pelabelan.
Dampak yang dihasilkan dari sebutan teroris tak bisa
dianggap remeh. Para masyarakat awam begitu mudah terpengaruh oleh sematan ini.
Setiap melihat celana cingkrang, jenggot panjag, jidat hitam, mereka ketakutan.
Dalam fikiran mereka ‘dia teroris’. Bahkan seorang wanita dilarang masuk ke
bank hanya gara-gara mengenakan jilbab syar’i yang menutupi tubuhnya. Ada pula
pernyataan beberapa pesantren menjadi sarang teroris. Hal ini semakin membuat
para orang tua cemas ketika ingin memasukkan anaknya ke pesantren.
Tapi tak selamanya sesuatu yang buruk memberikan efek buruk
pula. Dengan sebutan teroris kepada Islam ini, umat Islam juga semakin pintar.
Mereka sudah bisa membedakan mana yang lawan dan mana yang kawan. Wa makaru
wa makaralloh wallahu khoirul makirin, Allah lah sebaik-baik pembuat makar.
Memang Islam sejak dulu selalu mempunyai musuh. Sejak zaman
nabi Muhammad, para kaum Quraisy menyebut nabi kita dengan penyihir, orang gila
dan sebagainya. Tapi kita juga patut sadar bahwa kita punya Rabb semesta alam
yang merajai segala kerajaan. Perlu diketahui pula, jika kita berada diakhir
zaman. Kita seperti menggeggam bara, semakin digenggam semakin panas, namun
jika dilepas lepas lah iman kita. Pertahankan kawan, karena semakin kuat iman,
semakin kuat goncangan yang akan dihadapi.

Comments
Post a Comment