Indonesia Negeri Hukum atau Kekuasaan?


Ummat Islam kembali berduka. Orang-orang yang mencoba menegakkan hukum dan norma di kalangan masyarakat ditahan aparat. Sebagai mana ramai di media sosial, lima aktivis Islam LUIS ditangkap atas tuduhan pengrusakan dan penganiayaan di muka umum. Mereka adalah Edi Lukito, Endro Sudarsono, Joko Susanto dan Suparwoto. Dalam perkembangan penyelidikan, Mapolda Jateng kembali menangkap tiga orang, salah satunya wartawan Islam.

Dalam kasus ini yang banyak menyita perhatian masyarakat adalah penangkapan wartawan Islam, Ranu Muhammad. Reporter Panjimas.com ini ditangkap dini hari, dengan kaos lengan pendek dan celana futsal. Bahkan setelah diselidiki, saat digelandang polisi mata Ranu dilakban dan tangannya diborgol. Saat sang anak menanyakan kemana perginya Ranu, sang Istri hanya menjawab “liputan”.
Ranu ditangkap dengan tuduhan  melakukan provokasi pengrusakan Social Kitchen Café.

“Keterlibatan sebagai tim propaganda kelompok yang melakukan kekerasan bersama-sama di Sosial Kitchen,” ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Rikwanto menuding peran Ranu, pada Jumat (23/12).

Social Kitchen Café. Tempat ini di siang hari berfungsi sebagai restoran biasa. Namun bila anda mengunjunginya pada malam atau dini hari, anda tidak akan menemukan ayam bakar pedas manis. Tapi penari striptis. Tempat ini memang kerap ditegur oleh ormas Islam ataupun aparat. Tapi hanya angina lalu. Bahkan, warga sekitar juga gerah dengan perilaku pengunjung Social Kitchen Café.

“Suara musiknya sampai menggetarkan kaca rumah saya. Bentuknya restoran tapi untuk dugem. Hal itu rasa sudah tidak sesuai. Suara musik keras bahkan kerap terdengar hingga menjelang subuh pada pukul 03.30 WIB,” kata S yang enggan disebut nama terangnya pada Ahad (18/12/2016) malam.

Sebagai negara yang katanya negara hukum, seharusnya kepolisian lebih dulu menangkap manager Social Kitchen Café. Yang sudah jelas adalah, mereka melanggar Peraturan Daerah (Perda) jam buka toko. Yang seharusnya tutup dibawah pukul 00.00 WIB, menurut warga sekitar, hingga menjelang subuh masih terdengar music di Social Kitchen Café. Namun aparat sepi tindakan. 

Analoginya, hukum tanpa kekuasaan macan ompong. Kekuasaan tanpa hukum kedzaliman. Penegakan hukum di Indonesia memang agak aneh. Entah mengapa, yang mencoba memperbaiki moral masyarakat malah digelandang. Bahkan dengan tidak wajar. Tapi yang merusak moral, mereka bebas berkeliaran. 

Penegakan hukum yang seperti ini menyisakan pertanyaan di tengah masyarakat. Ini negeri hukum atau kekuasaan? Yang ketika diberi rupiah, hukum pun punah. Mereka dibuat bingung, yang salah siapa, yang benar siapa. Penegakan hukum menjadi ambigu di mata masyarakat terlebih ummat Islam. Mungkin ummat Islam saat ini masih bisa sabar dan tahan diri. Namun ini akan menjadi bom waktu.

“Hal semacam ini akan menjadi bom waktu. Kalau rasa keadilan masyarakat ini tidak terpenuhi, jangan salahkan masyarakat kalau suatu ketika menjadi sebuah ledakan. Itu berbahaya sebenarnya,” tegas Sekjen Front Ummat Islam (FUI), KH. Muhammad Al-Khatath.

Oleh sebab itu, sebaiknya penegak hukum kita semestinya instropeksi. Yang salah dianggap salah, yang benar dianggap salah. Bukan yang salah dibenar-benarkan, dibela mati-matian. Yang benar dilibas tanpa alasan yang jelas. Sebab, bendungan tak selamanya mampu menahan tekan air, sewaktu-waktu bisa ambrol dan menggilas siapa saja yang melawannya. (Taufiq Ishak)

Comments