Akankah Keluarga Siyono Mendapat Keadilan?

TOPIK TERKINI- Terhitung sudah 84 hari kasus kematian Siyono telah menjadi topik bahasan baik di media elektronik maupun cetak, bahkan di kalangan masyarakat. Sebagaimana diketajui, Siyono ditangkap oleh tim Detaaemen Khusus 88 (Densus 88) setelah mengimami shalat di masjid yang ia dirikan bersama ayahnya, Masjid Muniroh. Singkat cerita, dua hari setelah penangkapan, keluarga diminta datang ke Jakarta oleh polisi untuk menjenguk Siyono. Alih-alih gembira, keluarga malah diberi kabar duka. Siyono meninggal dunia.

Tanpa ada pemberitahuan apapun, tanpa surat penangkapan, tanpa riwayat kejahatan, Siyono terbunuh di tangan Densus 88. Lebih lanjut, polisi mengklaim bahwa dirinya menjjabat sebagai panglima Jamaah Islamiyah, tanpa menyertakan barang bukti. Dalam menanggapi kematian Siyono pernyataan Polri pun berubah-ubah. Awalnya ia disebut mati karena kelelahan setelah melawan Densus. Setelah itu dinyatakan karena benturan di kepala, lalu yang terakhir di tendang dengan lutut di bagian dada. Pernyataan terakhir muncul setelah tim forensik Muhammadiyah mengeluarkan hasil autopsi, dimana terdapat patah tulang di bagian dada yang dinilai sebagai penyebab kematian Siyono.

Maka, masyarakat pun mengutuk tindakan Densus 88, sebab kelakuan Densus dinilai tidak sewajarnya. Hal itu dilihat saat Densus menangkap Siyono dalam keadaan sehat, lalu dipulangkan sudah menjadi mayat. Akhirnya, banyak umat Islam yang berempati. Mereka hilir mudik ke rumah Siyono di desa Brengkungan Kelurahan Pogung, kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Tak banyak yang bisa mereka lakukan, hanya mencoba memberikan dukungan terbaik, secara moril maupun materiil. Mereka juga berharap agar kasus ini ditindaklanjuti sesuai dengan hukum yang ada.

Akhirnya ada satu ormas besar di Indonesia, Muhammadiyah yang bersedia untuk mengadvokasi kasus Siyono. Hal ini terjadi diawali dari istri Siyono, Suratmi yang mendatangi kantor Muhammadiyah Yogyakarta guna menyerahkan uang dua gepok yang diberikan Densus. Dari situlah Tim Pembela Kemanusiaan (TPK) terbentuk, dengan tujuan mengadvokasi kasus Siyono yang dianggap tidak sesuai dengan jalur hukum.

Tim Pembela Kemanusiaan pun mencoba menempuh jalur hukum. Mereka menuntut agar anggota Densus yang terlibat dalam kasus penyiksaan yang menyebabkan kematian Siyono diadili dengan pengadilan pidana. Meskipun Polri sendiri baru menyelenggarakan sidang etik yang hasilnya hanya mengalihtugaskan Densus.

“Putusan terberat dalam sidang etik memang seperti itu. Tapi kami tetap meminta terhadap pihak kepolisian untuk meneruskan ranah ini dalam ranah hukum pidana,” kata kordinator Tim Pembela Kemanusiaan, Trisno Raharjo.

Padahal, menurut pasal 338 KUHP, barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Anggota komisi III DPR RI dari faksi Partai Gerindra, Muhammad Syafi’i pun beranggapan, bahwa tindak kejahatan yang dilakukan oleh aparat negara, hukumannya harus lebih berat dibanding jika dilakukan oleh masyarakat sipil. Sebagaimana diatur dalam pasal 52 KUHP, hukumannya ditambah dengan sepertiga dari kejahatan yang dilakukan oleh warga sipil.

“Jadi kalau masyarakat sipil dalam suatu peristiwa dihukum dua puluh tahun, maka kalau pelakunya aparat negara, maka ditambah sepertiga lagi,” tuturnya.

Dari sini tampak jelas, bahwa seseorang yang menghilangkan nyawa orang lain akan diganjar dengan hukuman pidana maksimal lima belas tahun. Dan jika dilakukan oleh aparat negara ditambah dengan sepertiganya lagi karena dianggap menyalahgunakan fungsinya. Maka, seharusnya Polri secara jantan memberikan hukuman bagi anggota Densus yang terlibat dalam pembunuhan Siyono dengan delik pidana. Bukan hanya sidang etik.

Polri sebagai aparatur negara tentu tidak bisa tebang pilih dalam memberikan sanksi kepada warga Indonesia. Ketika ada warga negara yang melanggar tentunya segera ditindaklanjuti. Bukankah negara ini memiliki semboyan negara hukum? Kalau kondisinya seperti ini, hukum apakah yang berlaku di Indonesia? Mungkin saja sebutan yang lebih pantas adalah berlakunya hukum rimba. Siapa yang berkuasa dia yang menang.

Meski demikian, kita tentunya berharap agar Polri benar-benar menjatuhkan hukuman yang pantas bagi anggota Densus yang terlibat dalam penyiksaan Siyono yang berujung pada kematian. Ketika itu terjadi, rakyat pun menjadi percaya bahwa Polri pantas disebut sebagai lembaga yang mampu memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar, tanpa pandang bulu.

Penulis: Taufiq Ishak

Comments